Terdapat mitos yang melekat di masyarakat Jawa seputar bulan Suro, yaitu sebutan Jawa untuk bulan yang mulia, Muharram. Masyarakat tradisional Jawa umumnya pantang mengadakan pesta apapun, baik pernikahan, selametan, dan pesta-pesta lainnya pada bulan ini. Sebaliknya, dilakukanlah berbagai ritual untuk menolak bala seperti jamasan, memandikan keris-keris dan senjata pusaka, dan sebagainya. Belum diketahui secara jelas darimana mitos ini berasal. Beberapa tokoh seperti KH Mustofa Bisri mengaitkan mitos dan ritual Jawa ini dengan peristiwa kematian Husein radhiyallahu’anhu hingga disebutlah bulan Suro sebagai bulan sial. Namun beliau juga tidak mengetahui sumber rujukan darimana pendapat ini berasal, dan menyebut ritual Jawa tersebut sebagai ritual yang mengandung unsur kesyirikan. Wallaahu a’lam, namun yang jelas bagi kita sebagai seorang muslim tidak boleh mempercayai adanya sebab-sebab berupa bulan, hari, dan waktu tertentu yang dapat mendatangkan kesialan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah sesungguhnya thaa’ir (kesialan) mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui” (QS. Al A’raaf : 131). Mempercayai mitos pembawa kesialan termasuk perbuatan menyekutukan Allah Ta’ala. Anggapan sial akan mengurangi kadar tawakkal dalam diri seseorang, dan memalingkan hatinya dari Allah sebagai satu-satunya Dzat tempat bergantungnya segala makhluk. Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “At thiyarah (anggapan sial) itu perbuatan syirik, at thiyarah itu perbuatan syirik” (HR Abu Daud, shahih).
Bulan Muharram Bulan Mulia
Bulan Muharram merupakan salah satu diantara bulan-bulan haram, yaitu : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu” (QS. At Taubah : 36). Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya waktu itu berputar semenjak hari dimana Allah ciptakan langit dan bumi, sungguh bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram, yang tiga berurutan : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab Mudhar yaitu Antara Jumada dan Sya’ban” (HR Bukhari dan Muslim).
Apa makna dari bulan haram? Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Bulan haram ada empat, yang tiga berurutan, dan yang satu bersendiri. Hal ini karena terdapat pelaksanaan manasik haji dan umrah, maka diharamkan berperang di sebulan sebelum manasik haji, yaitu Dzulqa’dah, disebut demikian karena mereka qa’dah (duduk, istirahat) dari perang. Diharamkan berperang di bulan Dzulhijjah karena manusia sibuk dengan ibadah haji, dan sebulan setelahnya yaitu Muharram untuk memberi waktu jamaah haji kembali ke negerinya masing-masing dengan aman. Diharamkan pula berperang di bulan Rajab karena itu pertengahan tahun dan masyarakat jahiliyah biasa bepergian di bulan tersebut”.
Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Bulan haram yang paling mulia ialah Muharram. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengawali tahun dengan bulan haram (yaitu Muharram), dan menutup tahun dengan bulan haram pula (yaitu Dzulhijjah). Dan tidak ada bulan dalam setahun yang lebih agung di sisi Allah daripada bulan Ramadhan, selain bulan Muharram”. Pendapat ini juga dikuatkan oleh sekelompok ulama kontemporer. Nabi shallallaahu‘alaihi wa sallam menyebut bulan Muharram dengan sebutan “syahrullah”, bulannya Allah. Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan ialah puasa di syahrullah, bulan Allah Muharram. Sedangkan shalat paling utama setelah shalat wajib ialah shalat malam (tahajjud)” (HR Muslim). Para ulama menjelaskan alasan penyebutan bulan Muharram dengan bulan Allah sebagai berikut :
- Dalil bagi keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah menyandarkan makhluk-makhluk-Nya langsung kepada-Nya, melainkan untuk menunjukkan keistimewaan makhluk tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Yaqub dan nabi-nabi lain disebut dalam Al Qur’an dengan “Abdullah” hamba Allah, begitu pula “Baitullah” untuk menyebut Ka’bah.
- Masyarakat jahiliyah dahulu menghalalkan bulan Muharram untuk berperang, dan mengharamkan bulan Safar. Maka Allah menegaskan bulan Muharram dengan menamainya syahrullah, sebagai isyarat bahwa kemuliaan bulan Muharram tidak boleh diganti oleh siapapun (dari Lathaa’iful Ma’arif )
Bulan Muharram Bulannya Amal Shalih, Bukan Bulannya Kesyirikan
Ibn Katsir rahimahullah menjelaskan kembali dalam tafsirnya, “Larangan berbuat zhalim di bulan haram maksudnya segala bentuk dosa dan maksiat lebih dilarang di bulan-bulan ini. Sebagaimana kemaksiatan yang dikerjakan di negeri haram (Ka’bah dan sekitarnya) dosanya berlipat ganda, begitu pula di bulan haram kemaksiatan yang dikerjakan dosanya juga berlipat ganda. Pembayaran diyat (denda) bagi kasus pembunuhan dilipatgandakan menurut madzhab Syafi’i dan sekelompok ulama lain. Demikian pula hukuman bagi yang berperang di bulan haram akan dilipatgandakan. Ali ibn Thalhah menjelaskan bahwa dosa dilipatgandakan di bulan ini, demikian pula amal shalih pahalanya juga dilipatgandakan di bulan-bulan haram”.
Maka apabila kemaksiatan di bulan ini dosanya dilipatgandakan, terlebih lagi dengan kemaksiatan terbesar yang merupakan pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala, yaitu kesyirikan alias menyekutukan-Nya dengan suatu makhluk. Seperti halnya ritual yang mengkultuskan makhluk, hewan-hewan tertentu seperti kebo bule, dan sebagainya. Termasuk diantaranya menganggap bulan Muharram sebagai bulan pembawa sial. Perbuatan ini tergolong thiyarah yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan. Tentu akan sangat besar dosanya di sisi Allah. Wal ‘iyadzu billah.
Hati-Hati dengan Anggapan Sial
Tidak boleh beranggapan bahwa hari tertentu, bulan tertentu, tahun tertentu, adalah faktor penyebab kesialan bagi manusia. Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang meyakini bahwa mitos kesialan tertentu dapat memberi manfaat atau mendatangkan marabahaya bila terjadi, ia meyakini akan dampaknya, maka ia telah berbuat kesyirikan karena menganggap suatu mitos sebagai penyebab terjadinya suatu hal” (Syarh Shahih Muslim no. 2224). Apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan sebagai satu-satunya penentu bagi terjadinya marabahaya, maka ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam karena pelakunya telah meyakini adanya pengatur alam semesta selain Allah Ta’ala. Sedangkan apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan adaah sebagai sebab yang berdampak negatif (dengan tetap meyakini hanya Allah yang berkuasa memberikan manfaat dan bahaya), padahal itu hanyalah mitos yang tidak ditetapkan syariat, dan tidak pula masuk akal, maka ini adalah syirik kecil yang termasuk dosa besar dengan tingkat dosa yang lebih besar dari zina dan membunuh seorang muslim tanpa hak. Dan wajib bagi seorang muslim untuk bertaubat darinya (lihat Qaulul Mufid 1/575).
Bulan Muharram dan Puasa Asyura
Asyura ialah sebutan untuk tanggal 10 Muharram, sedangkan Tasu’a untuk tanggal 9 Muharram. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa di hari Asyura, beliau pun bertanya, “Puasa apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, yaitu hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka (yaitu Firaun) maka Nabi Musa pun berpuasa di hari ini”. Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam pun bersabda, “Kalau begitu aku lebih berhak atas Musa daripada kalian” dan beliau pun berpuasa dan memerintahkan para shahabat berpuasa (HR Bukhari). Dalam riwayat lain bahwa ketika Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Asyura, para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah menjawab, “Kalau begitu tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga di hari Tasu’a”. Maka belum sempat datang tahun depannya lagi, Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam telah wafat (HR Muslim).
Oleh karena itu tingkatan dalam puasa Asyura minimal adalah berpuasa di tanggal 10 Muharram saja, atau lebih baik lagi bila menambah di tanggal 9 Muharram dalam rangka menyelisihi Yahudi dan Nasrani, atau lebih utama lagi menambah di hari-hari lain di bulan Muharram. Keutamaan puasa Asyura sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam, “Puasa di hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya” (HR Muslim). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya ialah menghapus dosa-dosa kecil, yaitu semua dosa kecuali dosa-dosa besar. Apabila ia tidak memiliki dosa besar dan kecil maka akan ditulis baginya kebaikan dan diangkat derajatnya. Apabila dosa kecilnya tidak ada maka dosa besarnya yang akan diringankan” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzab). Sementara dosa-dosa besar dihapus dengan taubat nasuha.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq dalam mengisi bulan Muharram yang mulia ini. Aamiin.
Penulis : Yhouga Pratama, ST. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)